Senin, 19 Mei 2014

Menjadi Qiyadah Ideal

Sudah menjadi fitrahnya setiap perkumpulan ada satu yang memberikan komando dan memberikan arahan untuk meraih tujuannya atau kita kenal sebagai pemimpin. Pun juga dalam suatu Lembaga Dakwah Kampus (LDK) ada yang namanya pemimpin atau sering kali biasa disebut sebagai qiyadah. Qiyadah disini biasanya menempati posisi Kepala/Sekretaris Departemen, Kepala/Sekretaris Bidang, dan yang tertinggi Ketua umum. 

Dua periode di dua lembaga dakwah, membuatku memahami bagaimana peran qiyadah. Menurut saya, Seorang qiyadah yang ideal, hendaknya berkomunikasi kepada staf/jundinya tidak hanya ketika ia perlu bantuan mereka saja. Misalnya ketika ada kepanitiaan seminar dan kebetulan kita menjadi Panitia Pengarah dan jundi kita sebagai salah satu panitianya. Dalam hal ini tentunya intensitas komunikasi qiyadah dengan jundinya sangat sering karena kondisi yang menyebabkan demikian. Namun yang sering terjadi adalah setelah seminar selesai kemudian kepanitiaannya bubar maka akan bubar pula intensitas komunikasi antar kedua pihak tersebut. Baik butuh bantuan maupun tidak, ada kerjaan ataupun tidak, tetap diperlukan untuk saling berkomunikasi. Entah sekedar menanyakan kabar, ataupun mengirim pesan tausyah. Hal itu untuk mempererat ikatan hubungan antar keduanya. Seorang qiyadah juga harus memahami kesibukan jundinya, dari jurusan/fakultas mana ia berasal, bagaimana jadwal kuliahnya, bagaimana kesibukannya, sampai apa saja organisasi yang ia ikuti. Hal-hal tersebut yang diperlukan untuk memetakan pembagian job kepada jundi-jundi kita. Ketika rapat pun juga jangan selalu memmbahas proker-proker dan proker tapi sekali-kali menanyakan bagaimana amal yauminya, bagaimana kuliahnya dsb. 

Seorang Qiyadah tidak hanya sekedar bertanggungjawab terhadap kinerja bidang maupun departemennya tetapi juga punya tanggungjawab membina jundi-jundinya agar menjadi pribadi yang lebih baik. Memang antar qiyadah satu dengan yang lainnya punya cara yang berbeda dalam melakukaan pembinaan. Apapun caranya, selama itu tak melanggar syariat tak masalah. Teringat ditahun pertama masuk lembaga, saya yang notabene'nya sangat-sangat pendiam disuruh nge-MC di kajian rutin untuk pertama kali, kedua kali, bahkan tidak tahu sampai beberapa kali. Tapi ada nilai positif dari langganan jadi MC kajian, yakni membuat saya lebih PD ketika ngomong didepan. Kemudian tahun ke dua, banyak nilai-nilai yang diberikan dari qiyadah walaupun awalnya saya jengkel juga. "Kalau SMS lawan jenis ndak usah pake smile",  "kalau sms akhwat beda bidang, lewat mbak sekbidnya", "Jangan boros-boros tanda !!!!! " "Panggil adek-adekmu dengan akh/ukh". Yah, itulah kalimat-kalimat yang diberikan qiyadah-qiyadahku untuk menunjukan kasih sayangnya pada waktu itu. Ada perasaan gag terima, kok banyak aturan gini-gitu. Sekarang setelah kondisi memisahkan kita, saya menyadari bahwa ya memang seharusnya begitu. Karena hal-hal itu salah satu yang membuat baiknya suatu lembaga. Selain itu begitu banyak teladan dan inspirasi dari qiyadah-qiyadah yang bisa saya petik dan kemudian saya inovasi untuk diterapkan dilembaga lain. "Ukhuwah Never Ending" itu memang benar, demisioner bukan berarti tidak ada lagi sms tausyah, bukan tidak lagi silturahmi. Alhamdulillah, SmS tausyah masih ada, pun juga silturahmi. 

Note : Syukron Jazakumulloh Khoiron Katsiron atas pembinaan, teladan dan inspirasi yang engkau berikan 
cc : Mas Hasan Cahya (Ketua Umum JN UKMI 2013) , Mas Listiawan & Mbak Rina Dewi(Kabid & Sekbid BKK  JN UKMI UNS 2013) dan Mbak Ulfah Maslahah (Kabid Nisaa' JN UKMI UNS) dan yang lain pula Terima kasih :)

0 komentar:

Posting Komentar